Latest Post

KPU Gandeng IAI Sosialisasi Pelaporan Dana Kampanye

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Saturday, 28 September 2013 | 16:17


PERATURAN Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 17 Tahun 2013 telah mewajibkan partai politik dan calon legislatif (caleg) menyampaikan laporan dana kampanyenya tepat waktu. PKPU ini merupakan petunjuk teknis Undang-Undang Pemilu yang mengatur tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilu  DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014.

Sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan ini, kemarin (Selasa, 24/9), KPU dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menandatangani memorandum of understanding (MoU) terkait sosialisasi pedoman pelaporan dana kampanye. Penanda tanganan itu dilakukan oleh Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI, Prof. Mardiasmo, CA, yang diwakili Dwi Setiawan Susanto dari DPN IAI dengan Ketua KPU, Husni Kamil Manik, di Gedung KPU, Jakarta. Selanjutnya KPU dan IAI secara terus-menerus akan menggelar sosialisasi teknis pelaporan dana kampanye kepada seluruh peserta Pemilu 2014.

Sosialisasi pelaporan dana kampanye ini merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari penyelenggaraan Pemilu kali ini. UU Pemilu menyebutkan, parpol dan caleg yang tidak bisa melaporkan dana kampanye secara transparan dan tepat waktu akan mendapatkan sanksi sesuai tingkatannya.
Mardiasmo dalam sambutannya menyebutkan, pedoman akuntansi yang digunakan parpol memang tak langsung menjamin akurasi pelaporan parpol. Sebagai akuntan profesional, ia menyadari sepenuhnya, pendekatan akuntansi yang diterapkan dalam pelaporan keuangan parpol dan caleg pada tahap ini barulah pelaporan sederhana dengan pendekatan aktivitas.

“Tujuannya, pelaporan seperti ini mudah dimengerti dan diharapkan bisa meng-encourage parpol dan para caleg untuk transparan dan terbuka,” ujar Mardiasmo. “Kami menyebutnya accounting for society, di mana ini merupakan sumbangsih profesi akuntan dan IAI bagi publik, yang akan berdampak pada kemaslahatan bangsa di masa depan.”
Mardiasmo menambahkan, pada intinya, kejujuran dalam membuat laporan menjadi kunci pelaporan itu. Tanpa kejujuran, pedoman akuntansi sebaik apapun bakal sia-sia. Sebab meskipun sistem sudah disiapkan, pencatatan laporan itu membutuhkan komitmen parpol sehingga amanah menjaga konstitusi bisa dijalankan dengan baik.

Sementara Dwi Setiawan mengatakan, IAI telah menyusun format pelaporan dana kampanye ini sesederhana mungkin dengan pendekatan aktivitas. Format laporannya terdiri dari pelaporan DPP, DPD, DPC, serta untuk para caleg. Agar mudah dalam menyusun pelaporan dana kampanye, parpol dan caleg harus rajin mencatat setiap transaksi yang terjadi, mengumpulkan buktinya, dan kemudian membuat laporan.

Pada kesempatan tersebut, selain dengan IAI, KPU sekaligus meneken Mou dengan empat lembaga lainnya. Mereka adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lembaga Sandi Negara, Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).
“KPU berkewajiban memastikan penyelenggaraan Pemilu berjalan baik. Untuk itu, KPU tidak mungkin bekerja sendiri,” kata Ketua KPU dalam sambutannya. “Dengan menggandeng IAI dan IAPI, kita bisa mengetahui berapa banyak dana kampanye parpol, muasal dana itu, dan pengeluarannya. Kita memang menginginkan Pemilu yang berintegritas. Tidak boleh ada money politics.” (from iaiglobal.or.id)

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2013

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Friday, 27 September 2013 | 07:07



KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-32/PJ/2013

TENTANG
TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN
PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK PENGHASILAN
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
               
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
               
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 14 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
    b. bahwa dalam rangka pengawasan pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
    c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
               
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
    2. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara Republik Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424);
    5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto
               
MEMUTUSKAN :
               
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PEMBEBASAN DARI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK YANG DIKENAI PAJAK PENGHASILAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
               
  Pasal 1
  Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan :
  1. Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu adalah Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
  2. Surat Keterangan Bebas Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang untuk selanjutnya disebut Surat Keterangan Bebas adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain yang dapat dikreditkan.
               
  Pasal 2
  Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak.
               
  Pasal 3
  (1) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Keterangan Bebas.
  (2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
               
  Pasal 4
  (1) Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
    a. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
    b. menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
    c. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
    d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
  (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan untuk setiap pemotongan dan/tau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23.
               
  Pasal 5
  (1) Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan:
    a. Surat Keterangan Bebas; atau
    b. surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas,
    dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
  (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
  (3) Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlewati.
               
  Pasal 6
  Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 3 berlaku sampai dengan berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
               
  Pasal 7
  (1) Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan.
  (2) Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
    a. menunjukkan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1);
    b. menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa Surat Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas:
      1) impor;
      2) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
      3) pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industri farmasi;
      4) pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;
    c. mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas.
    d. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
  (3) Fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
    a. satu lembar untuk Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan;
    b. satu lembar untuk diserahkan Wajib Pajak kepada Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut;
    c. satu lembar untuk diserahkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong dan/atau pemungut terdaftar
  (4) Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja sejak permohonan legalisasi diterima lengkap.
  (5) Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi.
               
  Pasal 8
  Bentuk formulir untuk:
  (1) permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
  (2) surat pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II
  (3) Surat Keterangan Bebas untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 21/Pasal 22/Pasal 23 menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III;
  (4) Surat Keterangan Bebas untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22 impor menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
  (5) Surat penolakan permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dibuat menggunakan formulir sebagaimana
Lampiran V;
  (6) permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI,
  yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
               
  Pasal 9
  (1) Setelah Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain bagi Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu diajukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  (2) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-1/PJ/2011 bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, tetap berlaku sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan.
               
  Pasal 10
  Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
               
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 September 2013

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

                        ttd.

          A. FUAD RAHMANY

Peraturan Dirjen Pajak - PER -31/PJ/2013 : Pedoman Teknis Sensus Pajak Nasional



PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER -31/PJ/2013

TENTANG

PEDOMAN TEKNIS SENSUS PAJAK NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :  

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2013 tentang Sensus Pajak Nasional, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Teknis Sensus Pajak Nasional;
                                   
Mengingat :    

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2013 tentang Sensus Pajak Nasional;
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 229/KMK.03/2013 tentang Pembentukan Tim Sensus Pajak Nasional

                                   
MEMUTUSKAN

Menetapkan :    

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN TEKNIS SENSUS PAJAK NASIONAL.
     
                             
Pasal 1

(1) Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional dilakukan sesuai dengan pedoman teknis Sensus Pajak Nasional.
(2) Pedoman teknis Sensus Pajak Nasional meliputi:
 pedoman teknis persiapan;
pedoman teknis pelaksanaan;
pedoman teknis pemanfaatan data hasil sensus; dan
pedoman teknis monitoring dan evaluasi.

                       
Pasal 2

(1) Pedoman teknis persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a meliputi:
proses pembentukan Tim Sensus Pajak Nasional;
proses pembuatan rencana kerja;
proses penyediaan data; dan
proses koordinasi internal dan eksternal.
(2) Pedoman teknis persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
             
Pasal 3

(1) Pedoman teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b meliputi:
proses pencacahan;
proses pelaporan; dan
proses asistensi.
(2) Pedoman teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
           
Pasal 4

Pedoman teknis pemanfaatan data hasil sensus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
 
                     
Pasal 5

Pedoman teknis monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf d ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
       
               
Pasal 6

Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2011 tentang Pedoman Teknis Sensus Pajak Nasional; dan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2011 tentang Pedoman Teknis Sensus Pajak Nasional,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
                 
                                   
                 
                 
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17  September 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
                                   
ttd,
                                   
A. FUAD RAHMANY

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-30/PJ/2013

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Sunday, 22 September 2013 | 04:55


KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-30/PJ/2013
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN
PASAL 25 DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29
TAHUN 2013 BAGI WAJIB PAJAK INDUSTRI TERTENTU
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang
:
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor124/PMK.011/2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2.
Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu;
4.
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 43/M-IND/PER/8/2013 tentang Ketentuan Pemberian Rekomendasi Pemanfaatan Fasilitas Insentif Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Perusahaan Industri;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGURANGAN BESARNYA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 29 TAHUN 2013 BAGI WAJIB PAJAK INDUSTRI TERTENTU.
Pasal 1
(1)
Terhadap Wajib Pajak badan industri tertentu dapat diberikan:
a.
pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak September 2013 sampai dengan Masa Pajak Desember 2013; dan/atau
b.
penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013.
(2)
Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan usaha pada bidang:
a.
industri tekstil;
b.
industri pakaian jadi;
c.
industri alas kaki;
d.
industri furnitur; dan/atau
e.
industri mainan anak-anak.
(3)
Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Pasal 2
(1)
Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dapat diberikan paling tinggi sebesar:
a.
25% (dua puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang tidak berorientasi ekspor; atau
b.
50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013, bagi Wajib Pajak badan industri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yang berorientasi ekspor.
(2)
Untuk mendapatkan pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan tertulis tentang besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang diminta.
(3)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan status domisili/pusat (kode status NPWP 000).
(4)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat pada akhir Masa Pajak dimulainya pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dengan dilampiri:
a.
fotokopi surat rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian;
b.
fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
c.
fotokopi surat keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2013 sebelum permohonan disampaikan.
(5)
Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti kelengkapan dokumen permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6)
Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(7)
Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
Pasal 3
(1)
Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 atas permohonan Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak namun tidak melebihi besarnya pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3)
Setelah Wajib Pajak memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 atas permohonan Wajib Pajak, yang berlaku sejak Masa Pajak dilengkapinya permohonan.
Pasal 4
(1)
Penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b diberikan paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009.
(2)
Untuk mendapatkan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan tertulis secara langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan status domisili/pusat (kode status NPWP 000).
(3)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 29 dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dengan dilampiri:
a.
fotokopi surat rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian;
b.
fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4)
Kepala Kantor Pelayanan Pajak meneliti kelengkapan dokumen permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5)
Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(6)
Surat permintaan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
(7)
Wajib Pajak harus memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat permintaan kelengkapan.
(8)
Permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan dalam hal tidak memenuhi jangka waktu penyampaian:
a.
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
b.
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(9)
Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberitahukan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 hari kerja sejak terlampauinya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (7) dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 5
(1)
Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan pemberian penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 atas permohonan Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak namun tidak melebihi jangka waktu penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan menghapuskan atau mengurangkan seluruhnya sanksi administrasi atas penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009.
Pasal 7
(1)
Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 tetap dapat diberikan pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a.
(2)
Wajib Pajak yang belum mendapatkan keputusan pemberian pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3)
Dalam hal besarnya pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ./2000 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berbeda untuk Masa Pajak yang sama, maka besaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang digunakan adalah besaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang lebih rendah.
Pasal 8
(1)
Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008 tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak, tetap dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b.
(2)
Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun Pajak 2013 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b tetap dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008 tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak.
(3)
Dalam hal jangka waktu penundaan Pajak Penghasilan Pasal 29 berdasarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2008tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berbeda, maka jangka waktu penundaan Pajak Penghasilan Pasal 29 yang digunakan adalah jangka waktu penundaan yang paling lama.
Pasal 9
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 September 2013
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd,
A. FUAD RAHMANY

IAI: TIGA PENILAIAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN DANA HAJI

WE.CO.ID - Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa ada tiga hal yang harus dicermati dalam menilai akuntabilitas dari pengelolaan dana haji oleh Kementerian Agama. "Setidaknya ada tiga hal yang harus kita lihat untuk menilai apakah pengelolaan dana haji itu akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan, red) atau tidak, yaitu faktor entitas, struktur biaya, dan waktu penyelenggaraan ibadah haji," kata Sekjen Kompartemen Akuntan Sektor Publik IAI Yusuf John di Jakarta, Kamis (19/9/2013).

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam acara diskusi Ikatan Akuntan Indonesia dan Majalah Akuntan Indonesia tentang "Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Haji". Menurut dia, dari segi entitas, badan yang mengelola dana untuk ibadah haji dari APBN dan dana haji dari calon jemaah harus jelas dan sebisa mungkin ada pemisahan dana secara akuntansi.

"Kemenag kalau mengelola dana haji yang dipakai dari APBN maka mereka harus memasukkan itu ke laporan keuangan pemerintah," ujarnya. Namun, kata dia, bila entitas Kemenag sebagai penyelenggara ibadah haji dan sedang mengelola dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dari calon jemaah, maka data itu masuk ke laporan keuangan penyelenggara ibadah haji.

"Secara akuntansi, yang ideal seperti itu. Namun, hal itu sulit dilakukan karena Kemenag sendiri memegang tiga fungsi regulator, pelaksana, dan pengawas," katanya.

Kemudian, ia mengatakan akuntabilitas pengelolaan dana haji pun perlu dilihat dari segi struktur biaya suatu pelaksanaan ibadah haji. Menurut Yusuf, pemerintah harus memaparkan struktur biaya yang jelas dari pelaksanaan suatu ibadah haji sebelum menentukan BPIH bagi para calon jemaah haji.

"Setiap tahun ada persoalan sama dalam penyelenggaraan ibadah haji, yaitu sikap pemerintah yang tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk mengkritisi biaya haji. Masyarakat sudah harus menyetor uang sebelum BPIH ditetapkan tanpa tahu 'cost structure' (struktur biaya) dari BPIH itu," tuturnya.

Dia berpendapat masyarakat seharusnya tahu sejak awal mengenai setiap komponen biaya dari BPIH yang harus dibayar untuk melaksanakan ibadah haji sebelum mulai menyetorkan uang untuk tabungan haji. "Harus ada perincian jelas yang menjadi dasar bagi penetapan BPIH. Jadi, 'cost structure' BPIH itu maksudnya adalah perincian komponen-komponen biaya yang harus dibayar kalau sesorang mau ibadah haji. Itu rinciannya harus per orang," ujarnya.

Selanjutnya, Sekjen KASP IAI itu mengatakan waktu penyelenggaraan ibadah haji pun harus jelas, guna mengetahui besaran bunga dari setoran awal jemaah haji (dana optimalisasi) yang dihasilkan selama proses menunggu hari pelaksanaan ibadah haji.

"Setoran awal tabungan haji masuk atas nama masing-masing calon jemaah bila belum mencapai Rp25 juta, kalau sudah mencapai angka itu baru ditransfer ke rekening Kementerian Agama sebagai pengelola BPIH. Bunga dari setoran awal itu disebut dana optimalisasi," jelasnya.

"Uang Rp25 juta itu kan sudah ada bunganya sambil menunggu penetapan BPIH. Maka dari sisi pembukuan, harus jelas si A setor berapa dan dapat bunga berapa," lanjutnya.

Namun, Yusuf mengaku tidak yakin bahwa Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) telah memiliki sistem pembukuan terperinci yang dapat menelusuri bunga yang diperoleh tiap calon jemaah haji dari setoran awalnya.

"Jadi, dari sisi pembukuan agar akuntabilitasnya baik, Siskohat ke depannya harus bisa memaparkan si A setor berapa, lunas kapan, berangkat kapan, berapa biaya riil yang dipakai. Kalau ada uang lebih harus dikembalikan," katanya. Menurut dia, bila sistem laporan keuangan dana haji bisa meliputi semua proses tersebut, akuntabilitas dari pengelolaan dana haji dapat menjadi lebih baik. (ant)

Kenaikan "Airport Tax" belum disetujui Kemenhub

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Monday, 16 September 2013 | 21:40


JAKARTA. Pemerintah belum menyetujui rencana PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II menaikkan pajak bandara (airport tax) di tiga bandara baru di Indonesia. Menteri Perhubungan EE Mangindaan mengatakan, keputusan kenaikan pajak bandara ini akan diresmikan melalui Surat Ketetapan Menteri Perhubungan. Saat ini, rencana kenaikan pajak bandara ini masih dikaji antara pengelola bandara terutama PT Angkasa Pura I dan II bersama pemangku kepentingan lainnya.
"Saya belum setuju kalau pajak bandara naik. Nanti kalau pemangku kepentingan (stake holders) semuanya oke, baru kita setujui," kata Mangindaan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, Senin (16/9/2013).

Ia menambahkan, pemerintah tidak bisa menaikkan pajak bandara ini seenaknya. Sebab, kebijakan ini tentu saja akan melibatkan penumpang sebagai pembayar pajak bandara tersebut. Kendati demikian, ia pun menyadari bahwa pihak pengelola bandara ini juga menghabiskan biaya operasional yang besar terutama membangun bandara megah tersebut.
Dengan semakin tingginya biaya operasional tersebut, pihak pengelola akhirnya membebankan pajak ke penumpang. Namun, politisi Partai Demokrat ini menginginkan agar kenaikan pajak bandara tidak membebani penumpang. Sebab, penumpang sendiri sudah terbebani dengan harga tiket dan pungutan lainnya. "Ya meskipun saya tahu pajak bandara ini dipakai untuk apa. Tapi kan untuk melayani juga, jangan terlalu tinggi juga," katanya.

Seperti diberitakan, PT Angkasa Pura II (Persero) mengajukan kenaikan pajak bandara di tiga bandara internasional di Indonesia kepada pemerintah. Tiga bandara tersebut adalah Bandara Kuala Namu di Sumatra Utara, Bandara Sultan Syarif Qasim II di Pekanbaru, dan Bandara Raja Haji Fisabilillah di Tanjung Pinang.
Pengajuan peningkatan tarif itu beragam. Bandara Raja Haji Fisabilillah diusulkan naik dari Rp 35 ribu menjadi Rp 50 ribu. Lalu Bandara Sultan Syarif Qasim II dari Rp 35 ribu menjadi Rp 50 ribu.
Sementara itu untuk Bandara Kuala Namu akan dinaikkan menjadi Rp 100 ribu dari sebelumnya Rp 35 ribu. "Jadi belum dinaikkan, maintenance-nya berat. Kalau (pajak) turun maintenance diturunkan, jadi tidak bangga lagi," jelasnya. (kompas.com/kontan.co.id)

Penerbitan Faktur Pajak Sesuai PER-24/PJ/2012

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Saturday, 14 September 2013 | 17:27

Terhitung 1 April 2013, Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Faktur Pajak yang terbaru akan mulai berlaku. PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak memuat beberapa perubahan yang mendasar di bidang Pajak Pertambahan Nilai, terutama terkait dengan tatacara pemberian nomor seri faktur pajak. Dengan berlakunya peraturan ini, Nomor Seri Faktur Pajak tidak lagi menjadi domain Wajib Pajak, karena penomoran faktur pajak akan dilakukan secara sentralisasi oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Sebelum Pengusaha Kena Pajak dapat memperoleh Nomor Seri Faktur Pajak, terlebih dahulu Pengusaha Kena Pajak mengajukan permohonan Kode Aktivasi dan Password secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha Kena Pajak tesebut dikukuhkan.  Kode Aktivasi dan password akan diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak yang telah memenuhi syarat, sebagai berikut :
  1. Pengusaha Kena Pajak telah dilakukan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP terdaftar berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2012 dan perubahannya dan laporan hasil registrasi ulang verifikasi menyatakan PKP tetap dikukuhkan; atau
  2. Pengusaha Kena Pajak telah dilakukan verifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Apabila Pengusaha Kena Pajak memenuhi syarat tersebut di atas, Kantor Pelayanan Pajak  akan menerbitkan surat pemberitahuan Kode Aktivasi, yang kemudian dikirim melalui pos dalam amplop tertutup ke alamat Pengusaha Kena Pajak. Kantor Pelayanan Pajak kemudian mengirimkan Password melalui surat elektronik (email) ke alamat email Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan yang dicantumkan dalam surat permohonan Kode Aktivasi dan Password tersebut. Sehingga Pengusaha Kena Pajak perlu memastikan agar seluruh poin dalam permohonan diisi secara lengkap dan benar. Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diberikan Kode Aktivasi dan Password.

Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi syarat dan/atau karena sesuatu hal surat pemberitahuan Kode Aktivasi dan surat pemberitahuan penolakan tidak diterima oleh PKP dan kembali pos (kempos), Kantor Pelayanan Pajak akan memberitahukan informasi tersebut melalui surat elektronik (email) ke alamat email PKP yang dicantumkan dalam surat permohonan Kode Aktivasi dan Password. Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi syarat dapat mengajukan permohonan kode aktivasi kembali setelah memenuhi syarat di atas dan/atau telah menyampaikan surat pemberitahuan perubahan alamat ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan prosedur pemberitahuan perubahan alamat.

Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak menerima Password sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b karena kesalahan penulisan alamat email pada Surat Permohonan Kode Aktivasi dan Password, PKP harus mengajukan permohonan update email. Apabila  Surat pemberitahuan Kode Aktivasi yang hilang dapat dimintakan kembali ke Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan fotokopi surat keterangan kehilangan dari kepolisian dan bukti penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak atas surat permohonan Kode Aktivasi dan Password.

Setelah Pengusaha Kena Pajak memperoleh Kode Aktivasi dan Password, barulah Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permintaan Penerbitan Nomor Seri Faktur Pajak dengan syarat Pengusaha Kena Pajak telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir yang telah jatuh tempo, secara berturut-turut pada tanggal permintaan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak. Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak akan diberikan Nomor Seri Faktur Pajak.

Dengan berlakunya Terhitung mulai tanggal 1 April 2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak wajib menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24 ini. Sedangkan Permohonan Kode Aktivasi dan Password dan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak dapat diajukan oleh PKP mulai tanggal 1 Maret 2013. (from pajak.go.id)


Blue Print Profesi Akuntan

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Wednesday, 11 September 2013 | 19:57


Saya tertarik untuk menulis ini, karena saya mempunyai impian apa yang tertera dalam bagan di atas. Saya membaca tentang blue print profesi akuntan beregister negara ini dari baca di majalah Akuntan Indonesia edisi Juni 2013. Saya tulis ini juga dalam rangka sharing kepada pembaca blog saya bagi yang belum mengetahuinya, meskipun terbilang agak telat. Tapi tidak apa-apa, dari pada tidak sama sekali .  Blue print ini di bahas dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada pertengahan Mei 2013 yang lalu.

Blue Print Profesi Akuntan Beregister Negara ini dirancang oleh PPAJP (Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai bersama IAI bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan profesi akuntan dimasa yang akan datang. Dengan berlakunya AEC (ASEAN Economic Communty) 2015 mau tidak mau seorang akuntan harus memiliki kompetensi dan daya saing yang tinggi jika tidak mau kalah dengan tenaga akuntan dari luar negeri. Untuk itu PPAJP bersama IAI menyusun dan merancang blue print profesi akuntan di Indonesia agar supaya nantinya akuntan Indonesia mampu bersaing menyambut pasar tunggal ASEAN itu, mulai dari sisi kompetensi, etika, daya saing, hingga networking. Setelah mendapatkan sertifikasi tersebut seorang akuntan juga akan dipantau keprofesionalannya agar senantiasa terjaga kualitasnya. Jadi tidak mudah akuntan bisa mendapatkan sertifikasi sebagai akuntan profesional.

Adapun terbitnya blue print profesi akuntan tersebut berdampak adanya perubahan-perubahan dalam proses perolehan sertifikasi tersebut. Salah satu perubahan adalah nantinya mahasiswa lulusan S1/DIV bisa langsung ujian sertifikasi CA (Chartered Accountant) tanpa harus menempuh Program Pendidikan Akuntansi (PPA). Selain itu, mahasiswa yang berasal dari lulusan non akuntansi bisa mendapatkan CA tetapi harus ikut PPA terlebih dahulu. Untuk lulusan DIV/S1 akuntansi pun juga bisa mengikuti PPA dalam rangka meng-update pengetahuan akutansinya. Itulah salah satu perubahan mendasar yang nantinya jika blue print tersebut diterapkan, meskipun masih ada perubahan-perubahan dalam proses mendapatkan register negara (Gelar Ak.) Untuk lebih lengkap pembaca bisa membaca Majalah Akuntan Indonesia edisi bulan Juni 2013. Mudah-mudahan dengan perubahan-perubahan tersebut tujuan awal tercapai, yakni dengan meningkatkan profesionalisme seorang akuntan dan mampu bersaing dalam menghadapi AEC 2015. Selain itu para pengusaha dalam negeri bangga menggunakan tenaga-tenaga ahli akuntan dari dalam negeri daripada tenaga ahli akuntan dari luar negeri. Semoga berhasil. (By kukuhwiryawan@blogspot.com)

Pajak Penghasilan Bagi Para Pengembang Properti

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Monday, 9 September 2013 | 23:14


Kontan.co.id. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mensinyalir masih banyak pengembang yang belum menghitung dan membayar pajaknya dengan benar. Masih terdapat pengembang yang belum melaporkan jumlah unit rumah yang telah terjual dengan benar.  Misalnya dalam satu bulan telah terjual seratus unit rumah, namun yang dilaporkan oleh pengembang kurang dari seratus unit. Demikian disarikan dari hasil wawancara dengan R. Dasto Ledyanto, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak di suatu kesempatan. Dalam upaya meminimalisir penyimpangan yang dilakukan oleh pengembang nakal tersebut, Ditjen Pajak melakukan program audit khusus. 

Untuk menghindari pengenaan sanksi maupun denda sebagai akibat dari tindakan audit oleh Pemeriksa pajak, pengembang perlu memberikan perhatian terhadap jenis-jenis pajak terkait dengan usahanya. Pajak-pajak pusat yang menjadi kewajiban pengembang antara lain meliputi: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Pengenaan PPh bagi perusahaan pengembang properti dikaitkan dengan penghasilan yang diterimanya dari penjualan produk properti. Dalam hal ini, penjualan seperti rumah, apartemen, maupun ruko akan memberikan penghasilan bagi pengembangnya. Atas penjualan produk tersebut, pengembang harus memungut PPh Pasal 4 ayat (2) kepada pembelinya. Pajak ini biasa disebut sebagai PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.

Selain itu, PPh Final Pasal 4 ayat (2) juga dikenakan untuk pengembang dalam tahapan konstruksi bangunan. Dalam hal ini, pengenaan PPh Final untuk pengembang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008. Dalam PP tersebut, jasa konstruksi dibedakan menjadi tiga kelompok: (1) jasa perencanaan konstruksi; (2) jasa pelaksanaan konstruksi dan (3) jasa pengawasan konstruksi.

Atas jasa konstruksi tersebut, dikenakan pajak dengan tarif bervariasi mulai dari 2% sampai dengan 6%. Besarnya tarif PPh tersebut tergantung pada jenis jasa yang diberikan dan skala usaha dari pengembang tersebut. Lantas bagaimna cara menghitungnya? PPh Final Pasal 4 ayat (2) dihitung dengan cara mengalikan tarif tersebut di atas dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yakni jumlah pembayaran yang dilakukan oleh pembeli/pengguna jasa.

Selain PPh atas jasa konstruksi di atas, pengembang juga wajib memotong/memungut pajak-pajak atas pembayaran gaji karyawan, pembayaran jasa kepada pihak ketiga dan sebagainya.

Dengan memahami dan mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku, diharapkan pengembang dapat terhindar dari sanksi maupun denda perpajakan, sehingga pajak yang dibayar oleh para pengembang akan memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Mari hitung dan bayar pajak dengan benar. (Kontan.co.id. Senin, 09 September 2013)

KEMDAG: Indonesia Tidak Kena Pajak Impor China

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Friday, 6 September 2013 | 19:58

Harian Kontan, 6 September 2013 

JAKARTA. Pengusaha batubara nasional seharusnya dapat memanfaatkan momentum pengenaan 3 % bea masuk  impor batubara yang dikeluarkan Pemerintah China. Dengan demikian, pasokan ekspor batubara ke negeri Tirai Bambu tersebut tetap terjaga bahkan meningkat.

Bachrul Chairi, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan mengatakan, sejatinnya pengenaan bea masuk tersebut dilakukan secara most favourable nations (MFN) atau tarif yang dikenakan atas seluruh produk batubara impor yang masuk ke China. Namun, “Sesungguhnya eksportir batubara asal Indonesia dapat memanfaatkan fasilitas preferensi berupa bea masuk 0 %,” kta dia ke KONTAN, Kamis (5/9).

Sekedar mengingatkan, pada 30 Agustus lalu, Pemerintah China secara resmi menerapkan bea impor untuk batubara sebesar 3 %. Sementara, negeri tersebut merupakan penyerap utama batubara asal Indonesia. Misalnya saja, pada tahun 2012 lalu, jumlah ekspor barubara dari Indonesia ke China mencapai 54 juta ton.

Menurut Bachrul, eksportir batubara asal Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir dengan kebijakan baru tersebut. Sebab, Indonesia sendiri telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas antara negara ASEAN dengan China atau dikenal dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Bedasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117 Tahun 2012, eksportir asal Indonesia dapat memanfaatkan perjanjian ACFTA untuk kemudian penjualan batubara ke China. Yakni, dengan menyertakan surat keterangan asal (SKA) atawa Form E dalam setiap kegiatan ekspor. (ortax.org)

Latar Belakang

Written By Konsultan Pajak dan Keuangan on Sunday, 1 September 2013 | 23:43


Pada saat ini Indonesia sudah memasuki era globalisasi dimana pekerjaan yang umumnya dilakukan dengan cara yang kurang efisien semakin berubah menuju kepada pekerjaan yang berbasis kepada analisis yang lebih efisien. Persaingan bisnis yang sangat ketat saat ini menuntut adanya alat bantu yang mudah dipahami dan dimengerti, menyajikan data serta informasi dengan cepat, tepat,  akurat dan Banyaknya kebutuhan perubahan dalam sistem kerja perusahaan yang dapat menghasilkan struktur dan tatanan pekerjaan yang lebih rapi serta menciptakan produktivitas yang tinggi

Oleh karena itu kami dari jasa KONSULTAN PERPAJAKAN DAN KEUANGAN FREELANCE menawarkan jasa untuk membantu kesulitan ataupun membenahi laporan keuangan anda. Kami siap membantu anda dalam hal penyusunan laporan keuangan perusahaan, perpajakan, pengisian SPT, SSP masa dan sebagainya.

Tujuan dengan adanya Penyusunan Laporan Keuangan dan Pajak adalah:

LAPORAN KEUANGAN
a. Menilai kinerja keuangan, prestasi dan keadaan kesehatan keuangan perusahaan dengan menggunakan analisis rasio keuangan.
b. Menyiapkan informasi keuangan yang dapat membantu dewan direksi, para investor dan kreditor yang potensial didalam membuat suatu keputusan.
c. Menyajikan informasi yang dapat membantu para investor dan kreditor serta pengguna lain yang potensial didalam memperkirakan jumlah waktu dan ketidakpastian penerimaan dimasa yang akan dating.
d. Menyajikan informasi tentang sumber daya ekonomi yang dimiliki perusahaan.
e. Menyajikan informasi tentang potensi potensi perusahaan selama satu periodik.

KONSULTASI PERPAJAKAN
a. Menyusun formula yang tepat terhadap pajak yang harus dibayarkan.
b. Membantu pencatatan pengeluaran-pengeluaran yang seharusnya tidak dijadikan sebagai objek pajak.
c. Membantu pencatatan-pencatatan yang seharusnya dijadikan sebagai objek pajak.
d. Membantu memberikan pengertian tentang perpajakan.


Contact Person

Contact Person :

Klien bisa menghubungi kami via email : konsultansemarang@gmail.com

Atau bisa menghubungi ke salah satu team marketing kami :

Erni Setyaningrum : 024-33042323 / 085725551982
Elin Amalina : 024-33055656 / 0816685656
Kukuh Wiryawan : 082225583050
http://konsultanpajakdankeuangan.blogspot.com

Visi dan Misi


Visi Kami Adalah Menjadi Konsultan Terpercaya dan Profesional

Misi Kami adalah :
  1. Menjalankan pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab, integritas dan profesionalime.
  2. Membantu menyajikan informasi , sumberdaya ekonomi, dan potensi perusahaan guna pengambilan keputusan dalam meningkatkan usaha/bisnis klien.
  3. Membantu pengusaha, terutama pengusaha mikro menengah dan kecil (UMKM) dalam hal perpajakan dan pelaporan keuangan


Penawaran Jasa


Ruang Lingkup Jasa yang Kami tawarkan meliputi :

1. Pembuatan Laporan Keuangan (bulanan dan tahunan), dalam bentuk :
Buku Besar ( General Ledger )
Laporan Laba Rugi ( Income Statement )
Neraca ( Balance Sheet )

2. Perhitungan dan Pelaporan Pajak Bulanan
PPh pasal 21
PPh pasal 22
PPh pasal 23
PPh pasal 25
PPN

3. Perhitungan dan Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan Badan.
Laporan Perubahan Modal
Laporan Arus Kas
Professional Fee

Besarnya Professional Fee atas jasa penyusunan laporan keuangan minimal adalah Rp. 350.000, dan untuk konsultasi & pelaporan pajak minimal adalah Rp. 150.000 tergantung atas :
1. Business nature perusahaan
2. Besarnya perusahaan dan banyaknya cabang
3. Scope penugasan
4. Kompleksitas dan banyaknya transaksi
5. Lokasi Usaha
Dengan kontrak minimal selama 6 bulan.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Jasa Konsultan Pajak & Keuangan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger